Saat tengah
menyelesaikan tulisan #CeritabulanMei Sabtu malam (Malam minggu) kemarin,
Facebook milik saya yang pada saat itu juga saya buka tak henti-hentinya
mengeluarkan suara pesan masuk. Pesan masuk tersebut berasal dari Chatbox komunitas saya. Karena takut orang disamping
saya terganggu, akhirnya saya memutuskan untuk melakukan pengaturan ulang
dengan mematikan suaranya. Pada saat
pengaturan ulang ini, tanpa sengaja saya melihat potongan obrolan teman saya.
Dia menyebutkan kata “Baja Ringan”. Tentu tak bisa dipungkiri, saya yang
sedikit mengetahui tentang baja ringan penasaran. Penasaran karena menurut
saya, tidak wajar seseorang menyebutkan tentang baja ringan sebagai bahan
becandaan, apalagi di chatbox tersebut. Saya juga penasaran karena orang yang
menyebutkan kata baja ringan itu adalah seorang anak Biologi, yang meskipun
beliau adalah tipe orang yang tahu banyak, rasanya tak wajar jika membahas
tentang Baja ringan di chatbox tersebut.
Akhirnya, untuk
mengobati rasa penasaran saya, segera saya kirimkan sebuah pesan pribadi,
menanyakan tentang sedang membahas apaan sampai Baja ringan diikutkan. Kakak
tersebut membalas dengan mengatakan “kalau tadi dia sempat melihat berita
tentang Penggusuran di sekitar waduk Katulampa. Katanya sebagian warga disana tinggal
diatas tanah pemerintah, mengaku miskin dan menolak untuk direlokasi ke rusun
yang telah disediakan. Hal ini yang membuat Wakil Gubernur Jakarta Ahok naik
pitam. Ahok mengatakan kalau masyarakat itu tidak miskin, karena menggunakan
baja ringan”. Setelah membacanya, saya tiba-tiba ingat dengan cerita seorang
teman di Jakarta sewaktu banjir besar melanda Jakarta beberapa bulan lalu.
Teman tersebut mengatakan kalau Jokowi sempat marah ketika melihat masyarakat
yang ingin dipindahkan ke tempat yang lebih layak, tidak mau meninggalkan
rumahnya yang merupakan daerah yang sangat rawan banjir. Teman saya tersebut
menambahkan, kalau tempat yang disedikan pemerintah itu merupakan sebuah rusun
yang telah dilengkapi dengan fasilitas seperti TV, tempat tidur, sofa. Biaya
sewanya juga digratiskan selama 3 bulan. Dan harga sewa dibulan selanjutnya
tergolong lebih murah dibanding dengan harga sewa ditempat mereka yang rawan
banjir. Ckckck.
Setelah
berdiskusi panjang lebar dengan Kakak tersebut di chatbox, sayapun teringat
dengan kata-kata dosen yang juga merupakan pembimbing saya. Beliau disetiap
waktu mengajarnya tak pernah berhenti membahas tentang dilema pemerintah. Salah
satu bentuk dilema pemerintah yah seperti contoh diatas. Pemerintah terkadang
sudah menyediakan sebuah tempat, masyarakat yang tidak mau. Ketika dilakukan
penggusuran, mereka teriak-teriak haknya dirampas. Padahal jelas-jelas mereka
yang salah. Mendirikan bangunan diatas lahan pemerintah. Bukan hanya di
Jakarta. Di Makassarpun sama. Hanya di Makassar, kasusnya sedikit lebih kecil.
Contohnya apa? Contohnya yaitu bangunan-bangunan yang “katanya” bersifat
sementara yang berdiri dipinggir jalan (ex: Bangunan-bangunan didekat pintu 0,
pintu 1 dan pintu 2 atau bangunan didepan kampus Unismuh). Sewaktu
membangunnya, mereka mengatakan kalau bangunan tersebut sifatnya sementara.
Ketika ada masa Jalan diperlebar dan
mereka digusur, mereka naik pitam. Demo. Teriak-teriak kalau haknya
dirampas. Pura-pura lupa kalau tanah tersebut milik pemerintah. Ckckckck. Perlu
diketahui bahwa setiap ruas jalan, diwajibkan memiliki Bahu jalan jika tidak
memiliki lahan parkir (Jalan tipe 2). Selain itu, Jalan juga masih memiliki
lahan yang namanya Daerah milik jalan dan Daerah pengawasan jalan. Lebar lahan
ini sekitar 5-10 meter dari tepi badan jalan. Jadi, sudah sangat jelas mereka
itu melanggar. Membangun diatas lahan pemerintah dan kemungkinan besar bangunan
tersebut juga tidak memiliki IMB. Ckckck..
Terkadang saya
heran melihat masyarakat yang mau mati-matian mempertahankan bangunannya.
Padahal mereka jelas-jelas salah. Atau kadang pula saya kasihan dengan beberapa
teman yang bekerja di perusahaan kontraktor yang mengerjakan proyek pelebaran
jalan. Terkadang mereka harus siap lari karena pemilik lahan yang tidak mau menyerahkan
lahannya membawa parang. Atau kadang pula saya heran dengan pemerintah yang
tidak melindungi kawasan sekitar jalan yang masih milik jalan. Bukankah, jika
diberitahu lebih dulu, kita bisa menghindari berdirinya bangunan tersebut. Dan
1 hal juga yang sangat membuat saya heran dengan pemerintah, yaitu adanya
perbedaan harga ganti rugi lahan terhadap warga yang sebagian rumah atau
pagarnya terkena pelebaran meskipun berada pada satu kawasan (geometric
jalan yang berubah.red).
Yah, seperti
itulah kita dan Indonesia. Kita yang masih saja terus-terusan lupa akan hak-hak
kita terhadap pemerintah dan Negara. Dan pemerintah yang juga masih keseringan
lupa terhadap kita. Jujur saya sangat berharap, ada satu masa Pemerintah mau
menerapkan perencanaan jangka panjang min 10 tahun kedepan. Perencanaan tata
ruang kota yang tidak berubah meski dengan bergantinya penguasa. Perencanaan
yang semua orang menyetujuinya. Karena saya yakin, perencanaan jangka panjang
dapat membatasi kita dalam hal pembangunan yang bersifat sembrono (asal
bangun). Yah hanya itu yang saya dan beberapa dosen saya harapkan. Perencanaan
jangka panjang. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar