Jumat, 10 Februari 2017

Satu harta yang saya banggakan (2) : Dedy Lukito

Selamat Ulang Tahun, Dedy…!

Kalimat pembuka yang tepat di bulan Januari ini adalah mengucapkan selamat ulang tahun karena Dedy baru saja memasuki umur barunya yang seperempat abad.
Mari sini kuperkenalkan dulu dengan salah satu teman perjalanan terbaikku setahun belakangan ini. Namanya Dedy Lukito, saya dan beberapa teman memanggilnya Dedy, adapula yang memanggilnya Lukito (panggilan khusus dari Bapak-bapak di Kantor). Tapi, itu dulu. Sebelum badan Dedy menjadi sedikit “membengkak”. Alhasil, nama panggilan Dedy berubah jadi banyak. Sebut saja Debo (Dedy Bohay), Battala (bahasa Makassar untuk kata Gendut), Dedot (Dedy Hot), dan yang terakhir ndut. Ntah kenapa timbangan badan Dedy bergerak kencang ke arah kanan padahal ia termasuk salah satu pegawai yang paling rajin berolahraga.

Dedy, angkatan ketiga generasi ZY40 (sebutan angkatan di Kantor) yang bergabung dan menjadi keluarga besar Sektor Bakaru. Di awal perkenalan, Dedy duduk sebelahan meja denganku sebelum dipindahkan ke ruang sebelah (Bag. Operasi). Duduk di sebelahku, Dedy saat itu masih lugu dan banyakan diamnya (hahahaha). Jika ditanya kenapa kami menjadi akrab, jawabannya Lupa. Mungkin karena kami selama setahun lebih di tempatkan di kantor yang sama dan berada dalam satu Bagian yang sama yaitu Operasi dan Pemeliharaan. Bedanya, Dedy di operasi, saya di Pemeliharaan. Hobi kami pun bisa dibilang sama. Suka main (traveling) kemana aja dan suka Baper soal kamera. Selain itu, kemampuan Dedy yang cepat beradaptasi, sungguh patut diacungi jempol. Diantara para perantau luar Sulawesi, bisa dikata Dedy salah satu yang paling cepat bisa menempatkan imbuhan Makassar dengan tepat. Mungkin karena itulah, Ia cepat akrab dengan siapa saja.

Bicara soal main, Dedy adalah salah satu teman yang asik pake banget. “aku sih ayo aja” menjadi jawaban Dedy ketika diajak main ke suatu tempat. Gimana ga asik kan? Hahahaha. Dedy juga teman ngobrol tempat liburan yang asik. Teman yang bakalan nyambung kesana kemari kalau sudah bahas masalah tempat liburan. Satu lagi kesamaan kami, yaitu saya dan Dedy meski tak mahir berenang tapi hobi liburan kami ke pantai dan snorkeling. Xixixixi. Selain enak diajak jalan kemana saja, Dedy juga adalah supir tembak terbaik. Bersama Dedy di belakang kemudi, kami percaya perjalanan kami aman dan cepat sampai. Sebab itulah Dedy menjadi supir andalanku ketika menjamu teman dari Mamakota dulu.
Soal kamera, Dedy termasuk update dibanding saya. Saya yang masih setia dengan Nikon D90 kadang envy juga karena kamera lawasnya tidak bisa diajak berenang. Sedang Dedy, sudah update ke action cam. Soal selfie, Dedy yang paling mahir diantara kami (penghuni grup Campur Sari Muda Mudi), sampai akhirnya ia dijuluki Master of Selfie.

Selain soal di atas, Dedy termasuk tipe teman yang “Call Away”. Telpon Dedy untuk minta tolong sesuatu, Dia akan meluncur. Minta tolong dianterin dan nemenin ke Bank, Dedy oke aja. Diajakin nongkrong sampai larut, ayo-ayo aja. Diajakin karaokean, Dia bakalan segera berangkat dan diajakin ngobrol ngalor ngidul, nyambung sana sini. Karena tipe Dedy yang seperti itu, menjadikan geng Tomy’s Angels (Karyawati di Bagian OPHAR) merasa sedih ketika kami tahu kalau Dedy akan dimutasi. Saya pribadi begitu kehilangan, terlebih bukan hanya Dedy yang mutasi tapi Dadan pun turut serta (baca tentang Dadan di Tulisan saya sebelumnya), dua orang teman ngobrol dan teman nongkrong yang asik diajak duduk bahas apa aja. Dimutasinya Dedy ke Puslis Mamuju (salah satu unit di bawah Kantor Sektor Bakaru) membuat saya sedikit khawatir Ia tidak lagi menjadi teman yang “ayo aja” ketika diajak liburan. Sebab untuk pergi berlibur bareng, Dedy harus menempuh perjalanan lebih dibanding aku. Padahal rencana buat liburan ke Lombok belum terlaksana L
 
Saya bersama Dedy (dan yang lain juga sih) di Pulau Kodingarengkeke 10 Agustus 2016

Rabu, 01 Februari 2017

Apa yang membuatmu takut?

“Apa yang membuatmu takut?” batinku.
Saya membaca ulang sebuah tulisan yang pernah saya buat sesaat setelah berperang dengan waktu menunggu tanda tangan seorang dosen untuk persetujuan skripsi. Merinding, itulah kata yang tepat menggambarkannya. 
Saya merinding ketika melihat waktu tulisan tersebut dibuat. Bulan Agustus 2016. Jika ditilik dari sekarang (dengan kondisi tidak mengganti Judul dan berpindah prodi), maka progress skripsi saya sudah seharusnya rampung dan siap di ujian Mejakan (Bagian dari ujian skripsi paling akhir). Tapi, keadaan berbalik tak menentu. Saat ini saya masih stuck di Bab III, dan keinginan untuk segera penelitian masih sebatas keinginan, sebab sang dosen masih juga belum setuju dengan Bab I sampai Bab III yang telah kususun. “Materinya masih kurang”, demikianlah alasannya.
Saat ini saya masih berusaha mengejar untuk wisuda di bulan April sebab di tahun ini saya berencana untuk segera mendaftarkan diri sebagai Mahasiswi baru di program pascasarjana Teknik Sipil. Target yang sudah molor jauh dari rencana akibat dari zona nyaman telah bekerja. Di tahun 2016, saya merasakan sama sekali tak ada pencapaian maksimal dari segi pendidikan. Nyambi jadi mahasiswa, bukanlah satu hal yang mudah. Terlebih, zona nyaman telah bekerja membuat saya mulai melihat beberapa hal secara berbeda, yang terkadang menurut saya itu bukanlah hal yang tepat.
Perjalanan saya masih panjang. Masih menakutkan, dan seperti itulah seharusnya.
“Jika mimpimu tak membuatmu takut, Maka mimpi tersebut belumlah besar”- anonymous.