Kamis, 02 Maret 2017

Basa basi menyesakkan

Diambil dari Instagram. Akunnya lupa :'(

Bismillahirrahmanirrahim.

(Semoga Allah senantiasa mengampuni saya)

Belakangan ini negative thinking selalu saja menghampiri saya. Bukan ke semua aspek, negative thinking ini lebih ke hubungan yang sedang saya jalani. Hubungan ke siapa? Ke teman dekat saya.

Yap.

180° dunia saya berubah. Atau lebih tepatnya pikiran saya. Obrolan tentang pernikahan yang kian membanjiri lini masa, bahan obrolan sampai chat pribadi maupun grup membuat pikiran saya crowded. Kenapa? Saya juga sama sekali tidak mengerti. Tapi, jujur saja saya mulai merasakan (mohon maaf) hal memuakkan ketika seseorang mulai menanyakan, “jadi, kapan nikah tih? Semuanya kan sudah aman. Apapi lagi?” atau “sudah lebaran atau sebelum. Apapi lagi? cepatmko. Atau perlu saya kode masmu?” hoel.

Tarikan nafas panjang selalu saja berjalan bersama dengan jawaban “doakan saja. Insya Allah segera”.

Well, saya memang sudah berada pada usia dimana “menikah” dan membahas soal nikah adalah satu hal wajar dan harus menjadi makanan sehari-hari. Sayangnya, bahasan soal nikah ini sudah terlalu menyesakkan. Sehingga kepala saya sudah mulai meragu apakah memang saya sudah siap. -Terlepas dari adanya beberapa hal yang semoga saja kamu mengerti.-

Kepala saya memaksa saya untuk berjalan ke kata “Sudah siapkah saya?”.
“sudah yakinkah saya bahwa dengan menikah saya akan menjadi jauh lebih mencintaiNya?”
Atau pertanyaan paling sarkastik yang selalu muncul di kepala saya yaitu “Beneran pengen nikah? Ini bukan sekedar mencoret pencapaian kan?”
What a damn it question.

Kepalaku kok munculin pertanyaan kayak gitu yaa? Hahahahahahaha.
Tapi, sangat betul sekali. Sudah yakinkah saya bahwa menikah ini adalah untuk beribadah dan bukan semata hanya untuk mencoret pencapaian? Hm… jawaban inilah yang mungkin membuat kepala saya sampai sekarang ini crowded. Sehingga belakangan ini saya terkesan menjadi zombie. Kepala penuh dengan pikiran yang kurang jelas. Belum lagi fisik yang sudah mulai menyalakan lampu kuningnya.

Oh, Allah. Sungguh, hanya kepadaMulah hamba kembali….


Jumat, 10 Februari 2017

Satu harta yang saya banggakan (2) : Dedy Lukito

Selamat Ulang Tahun, Dedy…!

Kalimat pembuka yang tepat di bulan Januari ini adalah mengucapkan selamat ulang tahun karena Dedy baru saja memasuki umur barunya yang seperempat abad.
Mari sini kuperkenalkan dulu dengan salah satu teman perjalanan terbaikku setahun belakangan ini. Namanya Dedy Lukito, saya dan beberapa teman memanggilnya Dedy, adapula yang memanggilnya Lukito (panggilan khusus dari Bapak-bapak di Kantor). Tapi, itu dulu. Sebelum badan Dedy menjadi sedikit “membengkak”. Alhasil, nama panggilan Dedy berubah jadi banyak. Sebut saja Debo (Dedy Bohay), Battala (bahasa Makassar untuk kata Gendut), Dedot (Dedy Hot), dan yang terakhir ndut. Ntah kenapa timbangan badan Dedy bergerak kencang ke arah kanan padahal ia termasuk salah satu pegawai yang paling rajin berolahraga.

Dedy, angkatan ketiga generasi ZY40 (sebutan angkatan di Kantor) yang bergabung dan menjadi keluarga besar Sektor Bakaru. Di awal perkenalan, Dedy duduk sebelahan meja denganku sebelum dipindahkan ke ruang sebelah (Bag. Operasi). Duduk di sebelahku, Dedy saat itu masih lugu dan banyakan diamnya (hahahaha). Jika ditanya kenapa kami menjadi akrab, jawabannya Lupa. Mungkin karena kami selama setahun lebih di tempatkan di kantor yang sama dan berada dalam satu Bagian yang sama yaitu Operasi dan Pemeliharaan. Bedanya, Dedy di operasi, saya di Pemeliharaan. Hobi kami pun bisa dibilang sama. Suka main (traveling) kemana aja dan suka Baper soal kamera. Selain itu, kemampuan Dedy yang cepat beradaptasi, sungguh patut diacungi jempol. Diantara para perantau luar Sulawesi, bisa dikata Dedy salah satu yang paling cepat bisa menempatkan imbuhan Makassar dengan tepat. Mungkin karena itulah, Ia cepat akrab dengan siapa saja.

Bicara soal main, Dedy adalah salah satu teman yang asik pake banget. “aku sih ayo aja” menjadi jawaban Dedy ketika diajak main ke suatu tempat. Gimana ga asik kan? Hahahaha. Dedy juga teman ngobrol tempat liburan yang asik. Teman yang bakalan nyambung kesana kemari kalau sudah bahas masalah tempat liburan. Satu lagi kesamaan kami, yaitu saya dan Dedy meski tak mahir berenang tapi hobi liburan kami ke pantai dan snorkeling. Xixixixi. Selain enak diajak jalan kemana saja, Dedy juga adalah supir tembak terbaik. Bersama Dedy di belakang kemudi, kami percaya perjalanan kami aman dan cepat sampai. Sebab itulah Dedy menjadi supir andalanku ketika menjamu teman dari Mamakota dulu.
Soal kamera, Dedy termasuk update dibanding saya. Saya yang masih setia dengan Nikon D90 kadang envy juga karena kamera lawasnya tidak bisa diajak berenang. Sedang Dedy, sudah update ke action cam. Soal selfie, Dedy yang paling mahir diantara kami (penghuni grup Campur Sari Muda Mudi), sampai akhirnya ia dijuluki Master of Selfie.

Selain soal di atas, Dedy termasuk tipe teman yang “Call Away”. Telpon Dedy untuk minta tolong sesuatu, Dia akan meluncur. Minta tolong dianterin dan nemenin ke Bank, Dedy oke aja. Diajakin nongkrong sampai larut, ayo-ayo aja. Diajakin karaokean, Dia bakalan segera berangkat dan diajakin ngobrol ngalor ngidul, nyambung sana sini. Karena tipe Dedy yang seperti itu, menjadikan geng Tomy’s Angels (Karyawati di Bagian OPHAR) merasa sedih ketika kami tahu kalau Dedy akan dimutasi. Saya pribadi begitu kehilangan, terlebih bukan hanya Dedy yang mutasi tapi Dadan pun turut serta (baca tentang Dadan di Tulisan saya sebelumnya), dua orang teman ngobrol dan teman nongkrong yang asik diajak duduk bahas apa aja. Dimutasinya Dedy ke Puslis Mamuju (salah satu unit di bawah Kantor Sektor Bakaru) membuat saya sedikit khawatir Ia tidak lagi menjadi teman yang “ayo aja” ketika diajak liburan. Sebab untuk pergi berlibur bareng, Dedy harus menempuh perjalanan lebih dibanding aku. Padahal rencana buat liburan ke Lombok belum terlaksana L
 
Saya bersama Dedy (dan yang lain juga sih) di Pulau Kodingarengkeke 10 Agustus 2016

Rabu, 01 Februari 2017

Apa yang membuatmu takut?

“Apa yang membuatmu takut?” batinku.
Saya membaca ulang sebuah tulisan yang pernah saya buat sesaat setelah berperang dengan waktu menunggu tanda tangan seorang dosen untuk persetujuan skripsi. Merinding, itulah kata yang tepat menggambarkannya. 
Saya merinding ketika melihat waktu tulisan tersebut dibuat. Bulan Agustus 2016. Jika ditilik dari sekarang (dengan kondisi tidak mengganti Judul dan berpindah prodi), maka progress skripsi saya sudah seharusnya rampung dan siap di ujian Mejakan (Bagian dari ujian skripsi paling akhir). Tapi, keadaan berbalik tak menentu. Saat ini saya masih stuck di Bab III, dan keinginan untuk segera penelitian masih sebatas keinginan, sebab sang dosen masih juga belum setuju dengan Bab I sampai Bab III yang telah kususun. “Materinya masih kurang”, demikianlah alasannya.
Saat ini saya masih berusaha mengejar untuk wisuda di bulan April sebab di tahun ini saya berencana untuk segera mendaftarkan diri sebagai Mahasiswi baru di program pascasarjana Teknik Sipil. Target yang sudah molor jauh dari rencana akibat dari zona nyaman telah bekerja. Di tahun 2016, saya merasakan sama sekali tak ada pencapaian maksimal dari segi pendidikan. Nyambi jadi mahasiswa, bukanlah satu hal yang mudah. Terlebih, zona nyaman telah bekerja membuat saya mulai melihat beberapa hal secara berbeda, yang terkadang menurut saya itu bukanlah hal yang tepat.
Perjalanan saya masih panjang. Masih menakutkan, dan seperti itulah seharusnya.
“Jika mimpimu tak membuatmu takut, Maka mimpi tersebut belumlah besar”- anonymous. 

Selasa, 31 Januari 2017

Satu harta yang saya banggakan (1) : Ramadhan Kaffah

Ramadhan Kaffah.

Saya mengenalnya di tahun 2015. Saat itu Dadan (Panggilan Ramadhan) datang bersama seorang teman angkatannya yang bernama Syaiful Fuad dan bergabung bersama kami menjadi keluarga besar PT PLN (Persero) Sektor Pembangkitan Bakaru. Di waktu perkenalan itu, Dadan terlihat jauh lebih sopan, memanggil saya dengan sebutan Bu sebelum nama saya pada saat itu.
Perjalanan pun dimulai. Karena proyeksi penempatan kami sama yaitu tetap di Kantor Sektor, maka hubungan pertemanan muncul begitu saja. Ditambah beberapa teman lainnya yang turut menjadi anggota keluarga besar yang baru, kami pun tergabung dalam grup “Campur Sari Muda Mudi”. Grup absurd yang berisikan anak kelahiran 90-an yang menerima rejeki ditempatkan jauh dari rumah (kecuali Hajar).

Well, mari kita lanjutkan soal Ramadhan. Tulisan ini sebenarnya hadiah ulang tahun buat Dadan di tahun 2016. Tapi inspirasi tak kunjung mendatangi dan baru bisa saya kerjakan hari ini.
Ramadhan, salah satu teman perjalanan yang seru. Kalau kamu melihat Dadan sekali, kamu pasti hanya menyimpulkan bahwa Dadan anak yang baik dan ramah. Sayapun mengamini. Jiwa adventure Dadan memang lebih besar. Bukan hanya laut, gunung pun dia suka (tidak seperti saya yang belum pernah mencoba naik gunung). Dia lebih senang naik gunung dibanding main ke Pantai. Katanya, itu karena turunan dari Ayahnya yang juga sangat hobi naik gunung. Dan mungkin karena kami sama-sama suka explore tempat baru, maka jadilah kami teman ngobrol yang seru. Membicarakan tempat baru, pengalaman perjalanan masing-masing sampai ke soal tulis menulis menjadi bahan obrolan kami. Bisa dibilang, Dadanlah orang pertama di Kantorku yang mengetahui kalau saya sering menulis di blog dan memiliki sebuah blog. Dan karena hal itulah dia pengen banget jadi sumber inspirasi dari salah satu tulisanku. Hahahaha

Jika biasanya orang yang senang mendaki gunung, pasti senang berolahraga. Maka saya bisa kategorikan Dadan kebalikannya. Meski suka mendaki, Dadan sangat malas jika diajak berolahraga. Berbagai macam alasan sering dilontarkan. Jika di hari kerja, alasannya karena kerjaan, maka di week end alasan utamanya adalah nge-gosok (menyetrika) dan nyuci (mencuci). Dadan juga termasuk orang yang susah kamu temui di waktu pagi hari saat week end. Ketika kami semua sudah nongkrong manis dan syantik di Warkop Om Akong (warung kopi sederhana favorit kami) maka Dadanlah satu-satunya yang masih molor di Kamar kosnya. Absen pembangkit (apel malam dengan pacar) sampai larut yang dia lakukan sering menjadi bahan becandaan kami ketika kami sedang kongkow bareng.

Soal pekerjaan, Dadan bisa dibilang produk BPP banget (maaf ini ga bisa dijelasin). Dadan sangat teratur soal pekerjaan. Terperinci, hingga anak lulusan D3 sepertiku terkadang tidak ingin mengikuti polanya. Meskipun saya juga ingin sekali mengikuti pola kerja Dadan, tapi sebagai lulusan D3 yang memang diciptakan take action banyak, dan berpikir ntar aja maka kami sering ga match. Bisa dikatakan Dadan adalah tipe orang yang sangat patuh terhadap suatu konsep, sedang aku termasuk orang yang akan memilih memotong beberapa tahapan jika memang bisa cepat terselesaikan. Karena pola kerja Dadan yang seperti itulah menjadikan Dadan sebagai man of the match dibanding dengan aku dan yang lainnya. Menjadi man of the match, yang actually bisa dikategorikan bencana sebab akan menjadikanmu over load. Beban kerja Dadan jauh lebih banyak dari kami semua. Kebiasaannya yang tidak bisa menolak pekerjaan, menjadikannya seorang yang “diandalkan”. Hal ini kadang menjadi bahan obrolan saya dan teman yang lain. Kami merasa kasian, sebab bagi kami pekerjaan yang berlebih memang meningkatkan kompetensi, tapi juga bisa membunuh secara perlahan atau paling tidak dapat membuat kamu tampak 10 tahun lebih tua dari umur kamu. Dan seperti itulah kondisi Dadan.