Selasa, 25 Agustus 2015

Aku Memilihmu

Aku ingat waktu itu
Empat tahun yang lalu. 
Pertama kalinya aku harus mengeluhkan diriku karena mulai lemah tanpamu. setelah itu keluhan dan keluhan terus saja menemaniku. Sungguh.. saat itu mungkin seharusnya aku sudah memutuskan untuk betul-betul mendekatimu dan berjuang mendapatkanmu.

Ditahun pertama, seingatku aku masih baik-baik saja meskipun tak sepenuhnya baik. Orang-orang masih menganggapku normal. Meski sesekali aku tahu kalau aku sebenarnya sudah harus memilikimu. Namun sayang, orang tuaku sungguh melarang kita. Baginya kau bisa lebih merusakku. Bisa lebih melemahkanku. Sungguh ironi.

Ditahun kedua, perlahan aku mulai melemah. Buku-buku pelajaran, novel, kuliah, papan pengumuman tak lagi menjadi daya tarik buatku. Kenapa? Karena kau tak ada. Kau tidak menemaniku saat aku betul-betul membutuhkanmu. Aku harus bersusah payah berjuang sendirian meski aku tahu bukan hal sulit bagiku untuk memilikimu. Tapi, sekali lagi alasannya adalah orang tuaku. Mereka masih melarang kita. Mereka masih melarang aku untuk memilihmu.
Ditahun ketiga, (mungkin) aku sudah mulai terbiasa tanpamu. Tapi tetap saja aku ingat bahwa itu hal yang menyulitkanku. Terlepas dari cemoohan para teman yang sudah mulai menganggapku semakin lemah karena tak ada kamu, aku terus saja berjalan. Meski dengan sejumlah kesulitan tentu saja. Hidup normal tanpamu termasuk hal sulit bagiku. Malam-malam kulalui dengan kesulitan tanpamu. Tapi apa dayaku. Sungguh. Orang tuaku masih melarangku untuk memilihmu.


Ditahun keempat, dibulan September tahun lalu. Aku masih mengingatnya jelas. Aku memilihmu. Aku tidak lagi peduli pada kata Ayahku yang menyuruhku untuk tetap bertahan tanpamu. Sebelum aku memilihmu, sungguh sudah terlalu banyak kesulitan yang kulalui. Apalagi pada saat ini, aku sangat membutuhkanmu. Aku benar membutuhkanmu untuk membantuku menyelesaikan semua tugas diklatku. Aku membutuhkanmu untuk membantuku memperjelas penglihatanku. Aku membutuhkanmu sebagai kebutuhan harianku. Tanpamu aku sungguh lemah. Meski kata orang, sekali aku menggunakanmu maka penglihatanku perlahan melemah, tapi biar saja. Itu kata orang, karena aku sudah memilihmu. Iya… Aku memilihmu..! Melupakan larangan orang tuaku. Melupakan apapun kata orang-orang. Karena aku lebih membutuhkanmu. Dan, sekarang aku memilikimu…. Yeay..! aku memilikimu my Nike glasses.. dan aku tau hanya kaulah satu-satunya yang bisa menyelamatkanku dari blurnya penglihatanku.  

Jumat, 21 Agustus 2015

Pulas sekali #rasa takut 3

Aku ingat malam itu.
Kelam sekali. Aku begitu takut. Dan mungkin saja sudah beralih kepada ketakutan.
Malam itu,
Detik waktu berjalan sangat lambat. Aku terjaga hingga larut. Kejadian yang hanya berselang 4 jam menerorku terus menerus. Mataku sembab bukan main. Nafasku tercekat. Aku tidak mampu memejamkan mataku. Aku begitu takut sekali. Untuk pertama kalinya aku merasakan takut seperti itu –aku berharap itu cukup sekali—lututku dingin bukan main. Saat itu, aku berharap pagi tak datang. Biarkan saja terus larut malam. Aku berharap waktu berhenti saat itu. Aku tidak ingin melihat hari esok dan aku sama sekali tak ingin bertemu siapapun.
Ntah sudah pukul berapa. Aku tidak peduli lagi pada waktu. Aku baru saja dipukul jatuh. Tersungkur ditanah. Begitu keras pukulannya hingga tak tersisa lagi sedikitpun tenaga untukku bangkit kembali. 
“tenanglah.. Tuhanmu maha adil. Maafkan saja dirimu, dan tidurlah” bisik hatiku.
“Tuhan, peluk aku.. Kumohon”
“Tidurlah. Besok saat kau terbangun, kau akan tahu hadiahKu untukmu”

*****



*Hari berjalan, hingga tak terasa sudah empat  bulan lebih aku tertidur pulas sekali. Sampai suatu waktu, Tuhanku membangunkanku. Rupanya Ia menghadiahkanku sebuah kado. Indah sekali. 

Takut

Kau tau seberapa sering aku mengalami rasa takut?
Mungkin sesering aku menghela nafasku.
Aku terlampau punya banyak stok rasa takut.
Takut terhadap Tuhan. Takut pada hal yang berbau horror. Takut aku tak bisa menghadiahkan surga pada kedua orang tuaku dan terakhir mungkin aku sedikit takut pada masa depanku (masa depan kita).
Aku punya banyak alasan untuk takut. Ntah kenapa aku memeliharanya. Aku pun tak tahu.
Mungkin karena aku mengumpulkan banyak rasa khawatir yang semestinya tak perlu ada. Bukankah kekhawatiran hanya milik orang yang tak yakin?
Hmm..
Jangan tanyakan kapan aku terakhir berbagi rasa takut
Sudah terlalu sering. Tentunya pada Tuhanku. Kadang-kadang, Tuhanku menyelipkan rasa damai diantara sejumlah takutku didalam tidurku. Kadang pula, aku harus menggigil takut sampai dini hari karena belum mendapat jawabanNya. Mungkin seperti itulah cinta sesungguhnya. Terkadang membuat kita damai, terkadang pula harus seharian terjaga karena sesak yang tertumpuk di dada.


Rabu, 19 Agustus 2015

(mungkin) ketakutan-ketakutan yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak mampu dan menolak untuk mencoba suatu hal yang baru yang belum pernah kita lakukan sebelumnya. 

Rabu, 12 Agustus 2015

Alasan Syukur #Bahagia3

Apa yang membuatmu tersenyum dipagi hari?

Hmm.. apa yaah?

Mungkin karena aku selalu mengucap syukur ketik terbangun dari tidurku, aku masih menerima ucapan selamat pagi dari seseorang, aku masih menyadari bahwa hari ini aku ditunggu oleh pekerjaanku, dan juga karena aku menyadari kalau keluarga selalu menantikanku untuk pulang.

Sesederhana itu?

Iyaa.

Tersenyum tak perlu alasan yang spesifik, bukan? 


Yang aku tahu setelah bersyukur, aku bisa tersenyum menjalani hari. :)  

Alasan syukur #bahagia2


Selamat pagi lelakiku.

Hari ini mungkin aktifitasmu pun seperti biasanya. Ngantor, istirahat, lalu menghabiskan waktu bermain dengan cucu tersayangmu.

Banyak yang sering menanyakan mengapa aku begitu mencintaimu. Ah, mereka hanya melihat dengan kasat mata lalu kemudian membuat pendapatnya sendiri. Egois bukan? Tapi, mari kita biarkan saja mereka melakukan itu. Toh, aku memang senantiasa selalu dan sangat mencintaimu.

Lelakiku,
Seingatku, dalam perjalanan hidupku kau hanya kecewa padaku sekali. Iya, hanya sekali - seingatku, dan semoga itu saja - .
Aku berharap sekarang ini, kau sudah cukup bahagia –meski seharusnya jangan seperti itu—melihatku berdiri di “sepatuku” sekarang. Aku ingat betul, suatu ketika saat kau menantangku untuk mengalahkanmu. Sayangnya, pertandingan itu sekarang (mungkin) tak lagi seimbang. Kita bermain di zona yang berbeda sekarang. Kalau kita melihat di satu sisi yang paling penting, tentu saja aku sudah bisa mengklaim diriku sudah menang. Tapi, sebaiknya jangan. Aku tidak ingin berpuas diri. Aku masih ingin mengalahkanmu dari segala sisi, seperti yang kau inginkan.  

Lelakiku, sudah cukup panjang perjalanan kita.
Sudah 23 tahun pula kita merayakan hari jadi bersama. Selalu special yaa? Kita selalu menua bersama. Aku masih punya hutang banyak padamu. Masih punya banyak hal yang harusnya kulakukan namun sekarang masih belum bisa kulakukakan untukmu. Ahhh, waktu berjalan terlalu cepat rupanya. Semoga saja tahun depan dihari ulang tahun kita, aku bisa memberikan kado yang selama ini kau impikan.

Lelakiku,
Aku ingin mengabarkan padamu kalau ada seorang lelaki pula yang membersamaiku. Aku tidak ingin membandingkannya denganmu, karena jelas kaulah pemenangnya. Aku hanya ingin mengatakan, semoga pilihanku ini tak mengecewakanmu. Apapun keputusanku kelak semoga tak pernah lagi mengecewakanmu. Aku ingin sepenuhnya mendapat ijin darimu dan aku ingin kita –aku,kamu dan dia—akan berjalan bersama, bercengkrama bersama seraya membunuh waktu. Lelaki itu sudah kau kenal bukan? Tentu saja kau sudah tahu tentangnya. Kau jago membaca seseorang, kan? Kuharap, dimatamu dia seperti yang aku lihat.

lelakiku,
sepanjang apapun tulisan ini, tidak akan pernah mampu memuat rasa bahagiaku karenamu. Aku selalu bersyukur karena menjadi bagian darimu. Selalu berterima kasih karena aku masih memilikimu yang selalu mengkhawatirkanku kapan saja. Heheehehe.


Selamat bekerja lelakiku, mari kita membunuh waktu bersama sesering mungkin. 

Rabu, 05 Agustus 2015

Tempat Aku Pulang

“Apa arti keluarga menurutmu?” Tanyamu suatu ketika, dulu.
“hmm. Apa yaaah.. Mungkin tempatku pulang” jawabku sekenanya.
“Kalo menurut kamu?” tanyaku.
“kalo aku sih keluarga itu yaa kamu” katamu.
Aku mengernyitkan dahi.
“Aku sepakat denganmu. Keluarga adalah tempat untuk aku pulang. Tapi, kau taukan kalo keluargaku tidak seperti keluargamu?”
Aku semakin bingung.
“Keluarga buatku selayaknya seperti keluargamu. Menjadi satu seperti tubuh. Saat ada yang sakit, bagian tubuh yang lain juga ikut merasakan. Ada ikatan.”
Hmmm…
“Boleh aku menjadi bagian dari keluargamu?”
Tatapanku memicing ke arahmu.
“aku ingin kau menjadi keluargaku. Tempatku untuk pulang. Tempatku untuk menumpahkan semuanya.”
“Yam…”
“nantinya kalaupun kita jarang ketemu, aku selalu punya alasan untuk pulang, karena kamu”  



--Percakapan tempo dulu--- denganmu, ditempat rahasia kita--

Senin, 03 Agustus 2015

Rumah

Hey, apa kabar kalian? Tadi pagi aku menengok rumah kita sebentar. Tak ada aktifitas berarti di rumah kita. Sudah berapa lama yaa kita meninggalkan rumah? Aku sudah mulai lupa saat terakhir kali kita bercengkrama di rumah kita. Sejak perpisahan hari itu, rumah kita menjadi sepi. Tak banyak aktifitas lagi yang kita lakukan. Hanya sesekali kita bertegur sapa. Seingatku, rumah kita hanya akan rame jika salah satu diantara kita sedang galau atau saat kita berbagi kabar bahagia yang terlalu egois jika kita rasakan sendiri. Tapi, tak apalah rumah kita sepi. Toh, kita memastikan diri selalu ada saat salah satu diantara kita sedang menggalau karena cinta atau karena terluka. Keluarga selalu seperti itu kan? Selalu ada, dibutuhkan atau tidak. Selalu ada meski hanya berwujud nama dalam rumah chat kita. Terima kasih telah menjadi keluarga, meski tanpa pernah kita meminta. 

Tangkuban 12, Udiklat Cibogo, Bogor, Oktober 2014
Unbiological Sister