Siang itu, saat sedang istirahat sendirian di rumah, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan sms yang bertuliskan nama Iam sebagai pengirimnya. Iam adalah teman dekatku sekitar setahun terakhir ini. Namun, sebuah kesalahpahaman antara aku dan dia merenggangkan hubungan kami. Apalagi, setelah sebulan terakhir Ia menghilang dan tak ada kabar sama sekali. Sms dari Iam segera kubuka dan kubaca. Isinya berbunyi, “Dimana? Aku ke rumahmu yah sekarang”. Belum sempat kubalas, sms selanjutnya masuk. Isinya berbunyi, “aku sudah on the way. 10 menit lagi disana”. Aku bingung bercampur heran. Bingung karena Ia seakan sudah tahu aku sedang dirumah. Dan keheranan karena Iam tiba-tiba ingin bertemu. Masih teringat jelas dikepalaku, bagaimana Ia menghilang selama sebulan hanya karena kesalahpahaman status pacaran.
Belum cukup 10 menit setelah sms terakhirnya, hpku berdering lagi. Kali ini bukan sms, tapi telpon. Kulihat nama Iam tertulis dilayar. “iyya kenapa?” kataku memulai. “Aku dibawah” jawabnya singkat. Mendengar jawabannya, aku segera mengganti pakaian dan turun kebawah. Dari tangga kulihat, Iam sudah duduk di kursi yang tersedia di teras. Tampak Ia sedikit agak kurusan setelah sebulan menghilang. “Hey” sapaku pertama. Dia tersenyum ringan. Tergambar jelas penyesalan dan keinginan meminta maaf dalam wajahnya. Aku mengambil kursi. Sebuah meja kutarik ke tengah, sebagai pemisah. Aku duduk memandang keluar. Mengamati setiap tangkai pohon mangga yang tumbuh dihalaman depan, berharap Iam memulai percakapan. “Gilaa.. awkward” gumamku dalam hati. Iam diam membisu. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Ia menatap keluar. Entah apa yang dilihatnya. Dan entah apapula yang tengah dipikirkannya. 15 menit berlalu, Iam masih diam membisu. Sesekali dia mengusap wajahnya. 30 menit berlalu, dan Iam masih saja diam. Ingin sekali rasanya aku memulai percakapan, tapi rasa kecewaku terhadapnya menahanku.
“Mau kemana?” tanyanya pelan ketika aku beranjak dari tempat dudukku. “ambil minum” jawabku. Mendengar jawabku, Ia hanya tersenyum. “errr,, sumpah.. kenapa bisa seawkward ini?” tanyaku sendirian begitu sampai di dapur. Sambil mencari minuman di kulkas, aku menata percakapan. Beberapa pertanyaan kusiapkan dan kutata rapi dikepalaku.
“Buat kamu” kataku sambil mengulurkan sekaleng jus jeruk ukuran sedang. “Makasih” jawabnya singkat sambil tersenyum. Senyum yang masih sedikit dipaksakan untuk menutupi kecanggungan. Aku membuka minumanku, dan segera meminumnya beberapa teguk. Dahagaku hilang. Tapi, tidak dengan kecanggunganku. Kulihat Iam memutar-mutar kaleng minumannya. Tak sedikitpun kulihat tangannya bermaksud membuka kaleng minuman itu.
Aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya membuka percakapan, tapi egoku melarang. Tak terasa, sudah lebih sejam kami duduk dan saling diam. Sebelum adanya masalah itu, meski kami duduk saling diam, pikiran kamilah yang saling menyapa. Namun entah kenapa, saat ini aku tidak bisa menjangkau pikirannya. Pun mungkin demikian baginya.
Sudah lebih 2 jam. Minumanku sudah habis. Tapi tidak bagi Iam. Minumannya masih utuh. Belum berubah sedikitpun. Aku sudah mulai bosan. Sms ajakan hang out dari seorang teman menggodaku untuk meninggalkan Iam. Lagi, lagi, aku menghela nafas panjang. Sesekali kulihat jam di tanganku. Bermaksud menyinggungnya secara halus. Dan, benar saja. Ia menoleh dan menatapku sesaat lalu kemudian menunduk seraya berkata “Maaf”. Suaranya pelan dan hampir tak terdengar. “kenapa?” tanyaku ingin memastikan apa yang kudengar. “Maaf atas sebulan kemarin” katanya pelan. Tatapannya lurus kedepan. “Maaf sudah membuatmu khawatir”. “Dan maaf pula karena keegoisanku” tambah Iam. Aku speechless. Kalimat-kalimat yang sudah kususun tadi, hilang entah kemana. “aku salah karena menuntut perubahan status” kata Iam lagi. “aku ga tau mau bilang apa ke kamu. Yang pastinya, aku kecewa Yam. Aku kecewa melihat kamu yang berubah drastis. Sangat tidak masuk akal, kamu memilih menghilang hanya karena masalah tersebut” ujarku dengan semangat. Emosi yang lama kupendam mulai memuncak. “Kita sudah dewasa, Yam. Tak semestinya persoalan status “pacaran” menjadi sebuah permasalahan” tambahku. Iam hanya menunduk. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. “aku ragu kita bakal kayak dulu lagi. Aku ragu bisa mendapati rasa dan keakraban itu lagi denganmu” ujarku. Iam menatapku dalam. “kita bisa mulai lagi dari awal dan mungkin kita bisa jauh lebih dari yang kemarin” kata Iam. “Mulai dari awal dan setelah itu kamu nuntut perubahan status lagi?” kataku dengan emosi. “Aku ga bisa Yam. Sebulan kamu menghilang dan tak ada kabar, cukup membuatku banyak berpikir” kataku berapi-api. Iam menunduk lesu mendengar penjelasanku. Tergambar jelas penyesalan dalam wajahnya. “apa gunanya status itu. Toh, tanpa status itupun, perhatianku ke kamu selalu lebih dari yang lain” ujarku. “Setahun lebih dan kamu sama sekali tidak menyadarinya, Yam”. “kamu melewatkan semuanya, karena focus pada titik yang salah” tambahku. Terdengar jelas helaan nafas Iam. “aku banyak salah. Tapi, aku mau kita kayak dulu lagi” kata Iam. Mukanya memelas. Kulihat jelas, penyesalan berat diwajahnya. “apapun statusnya. Terserah kamu. Yang penting kita bisa dekat lagi” tambahnya. Aku menghela nafas sebelum berbicara, “Dinding itu sudah ada, Yam. Dan akan sulit menghilangkannya”. “Kita coba dulu. Dinding itu biar aku yang hancurkan” Ujarnya. “Susah.” Ujarku singkat. “3 bulan. Kalau kamu merasa dinding itu masih belum mampu kuhancurkan, aku mundur Mel ” kata Iam berusaha meyakinkanku. Dikepalaku berkecamuk pilihan harus bilang apa. “Iyya” atau “tidak”. Iam menatapku dalam, menunggu jawaban. Aku bingung. Ketakutan merengkuhku. Aku takut kecewa untuk kedua kalinya. Aku takut hal yang sama akan terjadi lagi. Dan, Aku takut tidak bisa memercayai Iam lagi. Semua hal berputar dikepalaku.
Berulang kali kuhela nafas panjang. Pandanganku lurus kedepan. Kosong. Kulihat bayangan bagaimana Iam mengantarku pulang dan tanpa sepatah katapun Ia memutar mobilnya dan meninggalkanku waktu itu. Dan Kulihat pula bayangan diriku yang sangat khawatir dengan keadaannya. “Mel, hanya 3 bulan. Setelah itu, terserah kamu” kata Iam membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Menatapnya dalam-dalam. Mencoba mencari secercah keyakinan darinya. 1 hal yang bisa Memantapkan hatiku. 1 hal yang bisa Meruntuhkan keraguanku. Dan akhirnya kutemui. Satu sisi darinya yang berusaha meyakinkanku untuk berkata “iyya”. “gimana Mel? ” tanya Iam meminta jawaban. “Okey. Kita coba dari awal. Kita perbaiki semuanya.” Ujarku pelan. Sangat pelan. Senyum merekah diwajahnya. “Ingat. Ga ada lagi persoalan STATUS. Jika dimasa depan, Kita dipersatukan dalam sebuah ikatan, maka saat itulah kamu harus menuntut perubahan, Janji?” kataku lagi. “Janji. Sejanji janjinya” ujar Iam sambil menaikkan jari kelingking. Akupun menaikkan jari kelingkingku. Iam melingkarkannya, dan tak lupa jempol kami mengecapnya sebagai pernyataan sah. Berjanji untuk tidak mengingkarinya. Meskipun dalam sebuah perjanjian yang tak resmi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar