Selasa, 11 Januari 2022

Jurnal 2022 - Teman yang tersisa

M – I January

Minggu pertama di tahun 2022 ini kuakhiri dengan bertemu teman lama. Di usia yang sudah melewati seperempat abad dan belakangan dihantui fase second life crisis (lupa istilah tepatnya apaan L) siklus pertemanan semakin menipis. Rasanya tidak ada lagi pertemanan baru. Lingkaran pertemanan baruku hanya teman kuliah saja. Kalau teman kantor? Tak pernah kuhitung sebagai pertemanan sih karena rasanya memang sudah “diharuskan” masuk dalam lingkaran pertemanan karena adanya factor business to business. Di kondisi yang tidak lagi mempunyai lingkaran-lingkaran pertemanan baru, satu waktu saya termenung bertanya ke diri sendiri siapa saja temanku saat ini. Teman kuliah? Saya tidak lagi akrab dengan mereka. Teman SMP, SMA? Rasanya tak perlu ditanya. Apa lagi mereka, rasanya gap frekuensi sudah terlampau jauh. Rasanya sulit untuk menyamakan bercandaan dan tema obrolan lagi. Satu-satunya lingkaran pertemanan yang bertahan frekuensinya sejak 2013 hingga sekarang hanya SIGi saja, dan itupun dengan jumlah yang sangat terbatas. Saya masih ingat, seminggu yang lalu (31 Desember 2021), di dalam mobil, saya dan Kak Indira sepulang dari rumah Kak Kiki (salah satu teman SIGi), kami mengobrol tentang pertemanan. Saya sedikit curhat ke Kak Indi bahwa saat ini pertemananku semakin sedikit dan hanya bisa dihitung jari. Saya tak memungkiri kondisi bahwa saya orang yang tidak mampu menjaga pertemanan. Saya tidak terbiasa dengan basa-basi menanyakan kabar ke teman (bahkan yang sangat akrab dengan saya sekalipun). Saya tidak memiliki keberanian menelpon/chatting atau hal-hal lainnya hanya untuk sekadar bertegur sapa. Karena itulah saya meraasa bahwa saya tidak punya teman. Kak Indi yang mendengarkan saya waktu itu menimpali hal yang sama, dan mengatakan bahwa mungkin di usia kami saat ini, lingkar pertemanan akan semakin sedikit tapi justru itu yang membuatnya berharga.

Seminggu setelah percakapan itu, di rumah kak Hesty saat acara reunian kecil, sambil menggendong Athaya, Kak Indi sontak menegur saya yang sedang memarinasi daging barbeque. “tih, banyakji toh temanmu?” sepersekian detik saya tidak sadar maksudnya dan akhirnya kami berdua tertawa, diikuti Amma yang juga ikut tertawa dan langsung mengerti arah obrolan kami. Ya, saya masih punya teman yang menjaga saya dan saya pun menjaganya. Saya masih memiliki teman yang menempatkan saya di level pertemanan yang sama seperti saya menempatkannya. Pertemanan kami masih berjalan dua arah meskipun tidak setiap hari kami saling bertukar kabar.

Kegiatan Wajib Sebelum Bubaran

Ah, rasanya bahagia sekali masih mempunyai lingkaran pertemanan yang tidak hanya saling menjaga, tapi juga saling mendukung dan menyemangati satu sama lain. Semoga terjaga sampai kita tua nanti. 

Terima kasih kalian, ma lop…!

Sabtu, 04 April 2020

Lelaki yang kehilangan waktu


Foto #berjemurchallenge hari pertama (Efek pandemi COVID-19, 03 April 2020 Pukul 10.30)


Sesekali aku mencuri tatap
Senyumnya mengembang
Mengamati tiap gerikku yang riang
Menemani beberapa jejak langkahku yang bertalian.

Sayangnya, lelaki itu kehilangan momentumnya.
Meski tak sekali waktu membersamaiku.
Bayangnya tak membumi dibenakku.

Pada waktu yang terus berpacu.
Pada jejak langkah yang kuadu.
Pada rasa yang tidak pernah ingin tahu.
Di momentum kedua aku kembali meragu.
Mungkinkah kali ini lelaki itu tak akan kehilangan aku?

Ah…
Kembali…
Lelaki itu kehilangan waktu…





#dirumahajachallenge 
#berjemurchallenge 
#Photoday2 
#03April2020 

Selasa, 03 Desember 2019

Resensi - Sabtu Bersama Bapak



Minggu, 01 Desember 2019, saat sunyi perlahan tertelan bising kendaraan, kumulai membaca sebuah Novel karya Adhitya Mulya. Novel lama namun baru bagiku.

Sabtu Bersama Bapak

Cerita dimulai dengan kehidupan Satya dan Cakra Garnida yang harus kehilangan Bapaknya, Gunawan Garnida diusia mereka yang masih sangat muda. Gunawan Garnida mengidap penyakit kanker dan divonis hanya berumur satu tahun sejak hasil diagnosa kankernya keluar. Dalam masanya menunggu sang ajal, Gunawan Garnida telah menyiapkan seluruh kebutuhan keluarganya sehingga keluarganya tidak susah dan kekurangan sepeninggalnya. Tak terkecuali dengan menyiapkan beberapa rekam video “cerita kehidupan” untuk menemani kedua anaknya tumbuh hingga dewasa.

Video-video cerita kehidupan yang disiapkan Gunawan Garnida ternyata mampu menjadi lilin penerang bagi kedua anaknya. Satya Garnida, seorang suami juga ayah dari tiga orang putra sangat terbantu dengan rekaman video Bapaknya. Di saat keharmonisan keluarganya mulai dihantui beberapa masalah, Satya Garnida mendapatkan jalan pulangnya setelah menonton kembali video Bapaknya. Dalam pesan-pesan yang disampaikan Bapaknya, Satya Garnida pun bertekad memperbaiki hubungannya dengan anak dan istrinya. Satya sadar bahwa kehadirannya sebagai suami yang penyayang dan Bapak yang dekat dengan anaknya sangatlah penting, sehingga Ia berusaha keras untuk memperbaiki semuanya.

Berbeda nasib dengan Satya Garnida, Cakra Garnida diceritakan sebagai pria yang kurang laku. Meskipun sudah menjabat sebagai Deputy Director Cakra Garnida tetap low profile. Dalam usahanya mencari pasangan hidup, Cakra Garnida bertemu dengan seorang pegawai baru di kantornya yang bernama Ayu. Namun kesan buruk yang ditinggalkannya membuat Ayu menjaga jarak dengan Cakra. Dalam keputusasaannya, Cakra Garnida pun akhirnya memilih mengikuti saran Ibunya untuk melakukan kencan buta bersama seorang perempuan anak dari teman Ibunya. Tak disangka bahwa perempuan tersebut adalah Ayu, anak baru yang sudah menolaknya secara halus. Perkenalan yang dilakukan Cakra dan Ayu hanya berjalan sehari namun Cakra mampu membuat Ayu terkesima dengan pemikiran-pemikirannya yang berbeda. Pemikiran yang didasari dari ajaran-ajaran Bapaknya melalui video yang Cakra tonton setiap Sabtu. Hal itulah yang membuat Ayu jatuh hati dan memilih Cakra sebagai calon suaminya.

Novel dengan tema berat (menurut saya) ini mampu dikemas Adhitya Mulya dengan renyah. Tidak selalu serius, bumbu-bumbu cerita lucu pun turut diberikan Adhitya Mulya. Saya tidak menyangka dapat menghabiskan novel ini dalam waktu kurang dari lima jam. Ceritanya sangat menarik sehingga membuat saya selalu penasaran pada kejutan lembar berikutnya.

Kelak nanti semoga saya pun dapat bertemu dengan sosok Suami dan Ayah anak saya yang akan senantiasa berpikiran seperti Gunawan Garnida, Cakra Garnida dan Satya Garnida.


Selamat membaca!!!!

Minggu, 19 Mei 2019

Let's Change!


Judul                    : Let’s Change!
Author                 : Prof. Rhenald Kasali
Halaman            : 278 halaman
Penerbit             : Buku Kompas, February 2014

Lets Change, sebuah buku yang berisikan kumpulan tulisan Prof. Rhenald yang mengisi surat kabar Harian Kompas. Buku ini menceritakan bagaimana sebuah perubahan selalu mungkin terjadi. Bagi saya, buku ini adalah komposisi lengkap. Tidak hanya membahas perubahan dari segi manajerial, Prof. Rhenald mengulas kasus-kasus yang memungkinkan perubahan terjadi dari segala sisi. Ekonomi, politik, pariwisata, pendidikan, sosial masyarakat, dan leadership.  
Bagi saya, bagian paling menarik dalam buku ini adalah bahasan soal pendidikan. Prof. Rhenald sukses membahas masalah-masalah pendidikan di tahun 2009-2013 namun masih relevan dengan kondisi saat ini. Membaca bagian ini, saya berkaca bagaimana pola pendidikan saat ini yang masih saja menjadikan “status juara” sebagai sebuah tujuan. Prof. Rhenald membuka mata saya dengan menjelaskan bahwa pendidikan seorang anak tidak hanya diperoleh dari sekolah saja, lebih dari itu keterlibatan orang tua dan lingkunganlah yang akan mencetak anak-anak yang hebat. Di bagian ini, Prof. Rhenald juga mengkritisi soal raport anak-anak sekolah yang tidak memberikan penjelasan kebutuhan sang anak sehingga orang tua pun mengalami kebingungan dalam menentukan arah mendidik anaknya.
Selain bagian pendidikan, saya juga menyukai bagian Sosial Masyarakat yang dibahas melalui beberapa contoh kasus oleh Prof. Rhenald. Meskipun beberapa tulisan tersebut ditulis pada tahun 2006-2013, tapi contoh kasus yang ada masih cukup relevan dengan kondisi saat ini. Pada bagian ini dibahas contoh-contoh kasus masyarakat yang konsumtif yang lebih mementingkan berutang hanya karena faktor gengsi atau mengejar prestise. Tanpa disadari hal inilah yang menjadi pintu awal terjadinya korupsi, kolusi, nepotisme dan kriminalitas.
Pada akhir bagian ini, Prof. Rhenald memberikan contoh bagaimana sosok Bung Hatta yang sederhana sehingga membuat orang di sekitarnya kala itu segan untuk menampakkan kekayaannya. Contoh yang diangkat oleh Prof. Rhenald ini mengingatkan saya pada sebuah cerita Manager saya tentang salah satu General Manager (GM) di kantor kami. Ketika beliau menjabat sebagai GM Induk kami, handphone (hp) beliau hanya Blackberry seri jadul. Padahal saat itu, seri iPhone 8 dan Samsung Note sudah marak dipasaran.  Saya pun dalam kesempatan bertemu beliau dan melihat hpnya saat itu sering bergumam, “sekelas GM kok hapenya jadul”. Suatu ketika ada seorang pegawai yang bercanda mempromosikan iPhone 8 dan Macbook kepada beliau. Pegawai ini kemudian menanyakan apakah Pak GM ada niatan untuk mengganti gadgetnya ke seri terbaru saat itu. Jawaban beliau kala itu mengagetkan orang-orang. Beliau menjawab “Sekelas GM itu adalah role model. Kalau GM-nya menggunakan Macbook dan iPhone, pasti pegawai di bawahnya juga akan berlomba menggunakan barang yang sama. Saya tidak ingin bawahan saya merasa perlu mengimbangi atasannya”. Jawaban yang didasari sifat kerendahhatian. Cerita tersebut tersebar di seluruh unit kantor kami dan membuat malu para manager unit yang tanpa segan memamerkan gadget keluaran terbarunya.

Selamat membaca :) 


Rabu, 03 Januari 2018

Disruption


Judul Buku : DISRUPTION
Penulis       : Prof. Rhenald Kasali 
Penerbit     : PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA 
Tahun terbit : 2017 
Tebal Buku : 479 halaman

Tulisan pertama di tahun 2018, saya awali dengan menepati janji ke Amma dengan mencoba menulis ulasan sebuah buku yang telah khatam saya baca. Disruption (479 halaman) karya Prof. Rhenald Kasali. Seorang ekonom Indonesia penggagas Rumah Perubahan. 

Btw, sebelum melangkah terlalu jauh, jika penulisan ulasan ini kurang menarik dan teman-teman gregetan untuk komentar maka dengan senang hati saya akan menerimanya baik melalui kolom komentar di bawah, ataukah secara personal melalui email, chat whatsapp atau media lainnya. See you there!

Baik. Mari kita lanjutkan biar teman-teman tidak penasaran!
Dalam buku ini, Prof. Rhenald mengajak pembaca untuk lebih mengenal disruption dan bagaimana polanya.
Bab-bab awal buku ini menjelaskan tentang disruption dan apa saja yang telah mendisrupsi serta siapa saja yang terkena dampaknya. Disruption sendiri sepertinya menjalin hubungan sangat dekat dengan generasi millennials. Membaca bab-bab ini, saya seolah tertampar, kemana saja saya selama ini dan mengapa saya tidak sadar selama ini.

Hmm..
Btw, Sebenarnya apa sih Disruption itu?
Prof. Rhenald menjelaskan bahwa disruption adalah sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Di era yang serba teknologi seperti sekarang ini, kehidupan kita sudah sangat dekat dengan pola-pola disruption. Usaha-usaha startup dalam kurun beberapa tahun terakhir banyak bermunculan. Siapa yang tak mengenal Alibaba, AirBnB, Kitabisa.com, traveloka, atau (yang paling sering saya gunakan) GO-Jek atau Grab. Adakah yang menyadari kalau mereka adalah salah satu pola disruption? Sadarkah kalau inovasi yang mereka kembangkan telah membawa kita meninggalkan cara-cara lama?
Mari kita tengok, Nasib Para Operator Taksi (hal. 71, Nasib yang Berbeda).

“In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends” – Marthin Luther King, Jr.

Bila nasib baik telah dilewati oleh para operator telekomunikasi selama menghadapi disruption, hal berbeda justru tengah dihadapi oleh para operator taksi di seluruh dunia. Anda mungkin bisa mengendus apa yang tengah terjadi. Sekalipun Anda sangat cinta pada tanah air, setujukah Anda atas pelarangan operasi taksi online?
(Kalau saya sih tidak! Tarifnya masih lebih murah. Hahaha)

Akibat serangan disruption, laba bersih dua perusahaan taksi terbesar di Indonesia turun drastis per September 2016. Pada Juni 2016, Tech Crunch melaporkan kajiannya tentang valuasi perusahaan-perusahaan transportasi tersebut dan menyebutkan bahwa nilai valuasi GO-Jek sebesar 1,3 miliar dollar AS (17triliun rupiah) dan Grab sebesar 1,6 miliar dollar AS (20 triliun rupiah). Sementara itu, Blue Bird yang memiliki sekitar 27 ribu taksi regular, dan ribuan taksi eksekutif serta limosin hanya dinilai 9,8 triliun rupiah. Padahal kita tahu bahwa GO-Jek sama sekali tak mempunyai armada, tetapi bermitra dengan 200 ribu pengemudi pemilik kendaraan di kota-kota besar. (hal. 61, Nasib yang Berbeda)

Kamis, 02 Maret 2017

Basa basi menyesakkan

Diambil dari Instagram. Akunnya lupa :'(

Bismillahirrahmanirrahim.

(Semoga Allah senantiasa mengampuni saya)

Belakangan ini negative thinking selalu saja menghampiri saya. Bukan ke semua aspek, negative thinking ini lebih ke hubungan yang sedang saya jalani. Hubungan ke siapa? Ke teman dekat saya.

Yap.

180° dunia saya berubah. Atau lebih tepatnya pikiran saya. Obrolan tentang pernikahan yang kian membanjiri lini masa, bahan obrolan sampai chat pribadi maupun grup membuat pikiran saya crowded. Kenapa? Saya juga sama sekali tidak mengerti. Tapi, jujur saja saya mulai merasakan (mohon maaf) hal memuakkan ketika seseorang mulai menanyakan, “jadi, kapan nikah tih? Semuanya kan sudah aman. Apapi lagi?” atau “sudah lebaran atau sebelum. Apapi lagi? cepatmko. Atau perlu saya kode masmu?” hoel.

Tarikan nafas panjang selalu saja berjalan bersama dengan jawaban “doakan saja. Insya Allah segera”.

Well, saya memang sudah berada pada usia dimana “menikah” dan membahas soal nikah adalah satu hal wajar dan harus menjadi makanan sehari-hari. Sayangnya, bahasan soal nikah ini sudah terlalu menyesakkan. Sehingga kepala saya sudah mulai meragu apakah memang saya sudah siap. -Terlepas dari adanya beberapa hal yang semoga saja kamu mengerti.-

Kepala saya memaksa saya untuk berjalan ke kata “Sudah siapkah saya?”.
“sudah yakinkah saya bahwa dengan menikah saya akan menjadi jauh lebih mencintaiNya?”
Atau pertanyaan paling sarkastik yang selalu muncul di kepala saya yaitu “Beneran pengen nikah? Ini bukan sekedar mencoret pencapaian kan?”
What a damn it question.

Kepalaku kok munculin pertanyaan kayak gitu yaa? Hahahahahahaha.
Tapi, sangat betul sekali. Sudah yakinkah saya bahwa menikah ini adalah untuk beribadah dan bukan semata hanya untuk mencoret pencapaian? Hm… jawaban inilah yang mungkin membuat kepala saya sampai sekarang ini crowded. Sehingga belakangan ini saya terkesan menjadi zombie. Kepala penuh dengan pikiran yang kurang jelas. Belum lagi fisik yang sudah mulai menyalakan lampu kuningnya.

Oh, Allah. Sungguh, hanya kepadaMulah hamba kembali….


Jumat, 10 Februari 2017

Satu harta yang saya banggakan (2) : Dedy Lukito

Selamat Ulang Tahun, Dedy…!

Kalimat pembuka yang tepat di bulan Januari ini adalah mengucapkan selamat ulang tahun karena Dedy baru saja memasuki umur barunya yang seperempat abad.
Mari sini kuperkenalkan dulu dengan salah satu teman perjalanan terbaikku setahun belakangan ini. Namanya Dedy Lukito, saya dan beberapa teman memanggilnya Dedy, adapula yang memanggilnya Lukito (panggilan khusus dari Bapak-bapak di Kantor). Tapi, itu dulu. Sebelum badan Dedy menjadi sedikit “membengkak”. Alhasil, nama panggilan Dedy berubah jadi banyak. Sebut saja Debo (Dedy Bohay), Battala (bahasa Makassar untuk kata Gendut), Dedot (Dedy Hot), dan yang terakhir ndut. Ntah kenapa timbangan badan Dedy bergerak kencang ke arah kanan padahal ia termasuk salah satu pegawai yang paling rajin berolahraga.

Dedy, angkatan ketiga generasi ZY40 (sebutan angkatan di Kantor) yang bergabung dan menjadi keluarga besar Sektor Bakaru. Di awal perkenalan, Dedy duduk sebelahan meja denganku sebelum dipindahkan ke ruang sebelah (Bag. Operasi). Duduk di sebelahku, Dedy saat itu masih lugu dan banyakan diamnya (hahahaha). Jika ditanya kenapa kami menjadi akrab, jawabannya Lupa. Mungkin karena kami selama setahun lebih di tempatkan di kantor yang sama dan berada dalam satu Bagian yang sama yaitu Operasi dan Pemeliharaan. Bedanya, Dedy di operasi, saya di Pemeliharaan. Hobi kami pun bisa dibilang sama. Suka main (traveling) kemana aja dan suka Baper soal kamera. Selain itu, kemampuan Dedy yang cepat beradaptasi, sungguh patut diacungi jempol. Diantara para perantau luar Sulawesi, bisa dikata Dedy salah satu yang paling cepat bisa menempatkan imbuhan Makassar dengan tepat. Mungkin karena itulah, Ia cepat akrab dengan siapa saja.

Bicara soal main, Dedy adalah salah satu teman yang asik pake banget. “aku sih ayo aja” menjadi jawaban Dedy ketika diajak main ke suatu tempat. Gimana ga asik kan? Hahahaha. Dedy juga teman ngobrol tempat liburan yang asik. Teman yang bakalan nyambung kesana kemari kalau sudah bahas masalah tempat liburan. Satu lagi kesamaan kami, yaitu saya dan Dedy meski tak mahir berenang tapi hobi liburan kami ke pantai dan snorkeling. Xixixixi. Selain enak diajak jalan kemana saja, Dedy juga adalah supir tembak terbaik. Bersama Dedy di belakang kemudi, kami percaya perjalanan kami aman dan cepat sampai. Sebab itulah Dedy menjadi supir andalanku ketika menjamu teman dari Mamakota dulu.
Soal kamera, Dedy termasuk update dibanding saya. Saya yang masih setia dengan Nikon D90 kadang envy juga karena kamera lawasnya tidak bisa diajak berenang. Sedang Dedy, sudah update ke action cam. Soal selfie, Dedy yang paling mahir diantara kami (penghuni grup Campur Sari Muda Mudi), sampai akhirnya ia dijuluki Master of Selfie.

Selain soal di atas, Dedy termasuk tipe teman yang “Call Away”. Telpon Dedy untuk minta tolong sesuatu, Dia akan meluncur. Minta tolong dianterin dan nemenin ke Bank, Dedy oke aja. Diajakin nongkrong sampai larut, ayo-ayo aja. Diajakin karaokean, Dia bakalan segera berangkat dan diajakin ngobrol ngalor ngidul, nyambung sana sini. Karena tipe Dedy yang seperti itu, menjadikan geng Tomy’s Angels (Karyawati di Bagian OPHAR) merasa sedih ketika kami tahu kalau Dedy akan dimutasi. Saya pribadi begitu kehilangan, terlebih bukan hanya Dedy yang mutasi tapi Dadan pun turut serta (baca tentang Dadan di Tulisan saya sebelumnya), dua orang teman ngobrol dan teman nongkrong yang asik diajak duduk bahas apa aja. Dimutasinya Dedy ke Puslis Mamuju (salah satu unit di bawah Kantor Sektor Bakaru) membuat saya sedikit khawatir Ia tidak lagi menjadi teman yang “ayo aja” ketika diajak liburan. Sebab untuk pergi berlibur bareng, Dedy harus menempuh perjalanan lebih dibanding aku. Padahal rencana buat liburan ke Lombok belum terlaksana L
 
Saya bersama Dedy (dan yang lain juga sih) di Pulau Kodingarengkeke 10 Agustus 2016